Sharing session dari operator lokal terkait pemeliharaan PLTS. Photo @Peter Gusphiton Mega 2022.

Peran PEAP Mengajak Masyarakat Desa Watukarere Merawat PLTS

September 13, 2022

Listrik salah satu kebutuhan utama rumah tangga masyarakat. Kala malam datang, listrik menjadi sumber cahaya memerangi kegelapan. Matahari bersinar sepanjang tahun di Indonesia. Namun belum banyak yang tahu teriknya matahari dapat diubah menjadi energi listrik. Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sudah banyak digunakan di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia pun juga turut membangun PLTS.

Di era energi terbarukan, sinar matahari menjadi salah satu sahabat. Sumber daya yang tak akan habis ini memiliki banyak manfaat. Selain menghasilkan listrik, PLTS sangat ramah lingkungan. Penggunaannya tidak menghasilkan gas karbon, sehingga dapat menekan laju perubahan iklim. Biaya listrik yang dibayarkan juga relatif lebih rendah jika dibandingkan penggunaan diesel genset. Hadirnya teknologi ini juga menciptakan lapangan pekerjaan baru di masyarakat.

Akses Listrik dan Kebahagiaan Warga Watukarere

Di Indonesia, akses listrik melimpah di kota-kota besar. Sepanjang malam, jalanan dipenuhi kerlap-kerlip lampu jalanan. Gedung pencakar langit terang benderang menutup cahaya bulan. Sayangnya hal ini tidak terjadi di seluruh wilayah. Ada tempat di mana penerangan di malam hari masih bergantung pada diesel genset. Akses listrik belum bisa didapatkan semudah di perkotaan. Desa Watukarere, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, salah satunya. Desa pesisir di Indonesia bagian Timur ini kaya akan sinar matahari kala siang hari, namun masih bergantung pada genset untuk penerangan di malam hari. Akan tetapi, tidak semua orang memiliki diesel genset.

Masyarakat Watukarere punya mimpi memiliki cahaya tanpa batas. Di tahun 2017, Pemerintah Pusat menjawab mimpi mereka dengan membangun PLTS di salah satu dusun (Dusun Dua), dari total empat dusun yang ada di Desa Watukarere. Kehadiran PLTS disambut dengan suka cita karena memberikan semangat baru bagi masyarakat. Dengan adanya PLTS, masyarakat dapat menikmati listrik selama 21 jam sehari, jauh lebih lama dibandingkan listrik dari diesel genset yang hanya dapat digunakan selama 6 jam sehari.

Kehadiran listrik dalam jangka waktu yang lebih lama juga memberi harapan baru bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di desa. Sebelum adanya PLTS, hanya terdapat tujuh UMKM di Dusun Dua. Kini, setelah pembangunan PLTS, terdapat tiga belas UMKM. Masyarakat membuka usaha seperti menenun, toko sembako dan perbengkelan. Pertokoan yang tadinya tutup jam tujuh malam, kini buka sampai pukul sepuluh. Potensi usaha juga semakin berkembang. Peternak bisa menggunakan alat untuk ayam potong. Sedangkan petani menggunakan alat untuk menggerus kopi.

PLTS Terancam Tidak Bisa Berfungsi Maksimal

Seluruh pembangunan PLTS di Dusun Dua didanai oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan untuk pemeliharaan dilakukan oleh Pemerintah Desa. Namun, kini PLTS terancam tidak bisa bekerja dengan optimal. Satu dari dua inverter, yang merupakan salah satu komponen utama PLTS, mengalami kerusakan. Hal tersebut menyebabkan kemampuan PLTS menghasilkan listrik berkurang. Kerusakan ini menimbulkan berbagai macam masalah lainnya. Lampu jalanan tidak berfungsi, sehingga malam kembali diliputi kegelapan. Penghasilan warga merosot karena jam operasional UMKM berkurang. Anak-anak tidak bisa belajar di malam hari. Ada juga kerusakan pada dua meteran listrik karena pemakaiannya tidak sesuai. Pemerintah Desa telah berupaya untuk melakukan perbaikan. Namun terkendala keterbatasan anggaran untuk perbaikan dan pemeliharaan.

Peter Gusphiton Mega, seorang fasilitator desa dari Proyek ACCESS (Patriot Energy ACCESS Program (PEAP), yang bertugas di Dusun Tiga Desa Watukarere menceritakan, “Masyarakat masih banyak yang beranggapan bahwa PLTS sepenuhnya adalah tanggung jawab pemerintah. Pandangan tersebut menjadi alasan mereka enggan membayar iuran operasional. (Padahal) supaya ada anggaran yang cukup, masyarakat harus mau ikut berkontribusi. Meskipun PLTS adalah program pemerintah, pembangunan ini dilakukan untuk kepentingan bersama. (Namun) sayangnya partisipasi masyarakat yang minim menjadi masalah saat PLTS mengalami kerusakan.”

Solusi dari Peter, Patriot Energy ACCESS Program

Proyek Accelerating Clean Energy Access to Reduce Inequality (ACCESS), yang didanai oleh KOICA dan diimplementasi oleh UNDP, saat ini memiliki 23 fasilitator desa/PEAP. Proyek ACCESS akan memberikan akses listrik di 23 desa di Indonesia melalui pembangunan PLTS Terpusat, di mana Desa Watukarere adalah salah satu target lokasinya. Peter, PEAP yang bertugas di Desa Watukarere memfasilitasi persiapan sejumlah 93 rumah tangga yang akan mendapatkan akses listrik dari PLTS yang akan dibangun di Dusun Tiga.

Belajar dari pengalaman di Dusun Dua, Peter menawarkan solusi untuk membantu operasional PLTS yang akan dibangun di Dusun Tiga. Peter mengajak masyarakat berkontribusi merawat PLTS melalui iuran bersama yang diwujudkan dalam bentuk voucher listrik desa. Melalui forum musyawarah desa, masyarakat Bersama dengan pemerintah desa menyepakati iuran Bersama melalui voucher senilai Rp 60.000,00 setiap bulannya. Dari total nilai voucher tersebut, 30 persen dialokasikan untuk biaya operasional Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan 70 persen untuk biaya pemeliharaan peralatan PLTS.

Peter mengembangkan sistem voucher untuk dana operasional dengan melakukan sosialisasi kepada warga terkait pentingnya merawat PLTS bersama-sama. Ia mengajak berdiskusi tokoh-tokoh penting di desa untuk membantu proses sosialisasi, baik yang dilakukan melalui forum masyarakat desa, maupun melalui home visit ke 93 rumah tangga yang nantinya akan menerima akses listrik dari PLTS yang dibangun oleh proyek ACCESS. Dalam sosialisasi ini, Peter menjelaskan tentang pentingnya merawat PLTS, “Saya memberitahu, bahwa jika PLTS rusak maka kita akan mengalami kerugian, seperti tidak bisa membuka toko kelontong dalam jangka waktu yang lebih lama. Sedangkan jika kita mau merawat PLTS bersama, kita sendiri yang akan mendapat manfaatnya.” Pendekatan yang dilakukan Peter sukses membuahkan hasil. Warga menyambut antusias dengan tangan terbuka.

Alasan Peter menggunakan sistem voucher, adalah untuk menghindari dugaan pungutan liar jika dilakukan dengan sistem iuran. Peter mengatakan, “Sistem iuran menjadi pemicu masyarakat berpikir bahwa ini adalah pungutan liar (pungli) oleh Pemerintah Desa. Belajar dari pengalaman, sistem tersebut sampai menimbulkan konflik yang diadukan ke Kabupaten. Sedangkan di Dusun Tiga, masyarakat yang tidak memasukan kode voucher tidak dapat menggunakan listrik.”

Keterlibatan Masyarakat Sebagai Bentuk Rasa Memiliki

Masyarakat Dusun Tiga bersedia membayar iuran operasional PLTS melalui sistem voucher. Mereka memahami bahwa ini berfungsi untuk biaya perbaikan jika nantinya ada kerusakan. Selain itu, masyarakat Dusun Tiga juga sukarela menyumbangkan tenaga. Peter bercerita, “Saat ada survey lahan untuk pembangunan PLTS, masyarakat ikut mendampingi tim kontraktor, membantu proses pengukuran lahan, dan mensosialisasikan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar.”

Keterlibatan masyarakat ini merupakan bentuk dari rasa memiliki terhadap PLTS yang akan dibangun. Peter berharap, nantinya saat PLTS sudah dibangun, PLTS tidak hanya digunakan, tapi juga dirawat sepenuh hati. Bersama-sama mereka siap menyambut cahaya. Solusi dari Peter ini dilatarbelakangi misi pembangunan berkelanjutan yang diusung oleh proyek ACCESS untuk 23 desa dan difasilitasi pelaksanaannya oleh PEAP di masing-masing desa.

Cahaya untuk Bersama

Strategi melibatkan masyarakat dalam berkontribusi melalui peningkatan kompetensi maupun pembangunan intitusi lokal menjadi salah satu kunci utama untuk menjamin keberlanjutan PLTS.  “Strategi pembayaran (iuran melalui) voucher untuk biaya operasional PLTS timbul berdasarkan pengalaman yang dulu-dulu. Banyak masyarakat yang tidak komit membayar iuran yang sudah ditetapkan dalam beberapa kegiatan. Misalnya dibangun fasilitas air bersih dan disepakati iurannya sejumlah sekian rupiah. Tetapi masyarakat yang sudah melihat air masuk rumahnya tidak memikirkan lagi terhadap iuran yang sudah disepakati. Strategi voucher ini adalah strategi yang cerdas dalam menghadapi kompleksitas hidup bermasyarakat di pedesaan, ” demikian disampaikan oleh Muhammad Febriman Sitepu, Technical Officer of Local Institutional Development Proyek ACCESS.

Dengan semangat masyarakat untuk terlibat aktif dalam pemeliharaan PLTS, diharapkan daya yang dihasilkan bisa berguna untuk banyak kebutuhan. Warga semakin tidak sabar menunggu PLTS dari proyek ACCESS. Pentingnya kepedulian masyarakat desa dalam melibatkan diri sebaiknya terus dilestarikan. Dengan fasilitasi aktif di level desa, pemanfaatan energi terbarukan oleh masyarakat bisa semakin naik dan berjangka panjang. Sehubungan dengan proyek ACCESS yang bergerak di sektor energi terbarukan, hal ini tentunya akan berkontribusi ke pengendalian ilkim global.

Ditulis oleh: Elizabeth Gabriela

© 2021 - ACCESS