Eddy Ratno Susanto, Patriot Energy ACCESS received signed Free, Prior and Informed Consent (30/9) from Riadi, Head of Muara Ripung Village in Barito Selatan Central Kalimantan

Kisah dari Lapangan: Mengakui Hak Lokal untuk Mengubah Hidup

January 9, 2022

Memberikan akses energi yang setara secara berkelanjutan dan mencapai tempat-tempat paling terpencil di Indonesia selalu menjadi tantangan, terutama untuk menjaga pembangkit listrik terdesentralisasi karena kurangnya kepemilikan masyarakat setempat. Pemeliharaan yang buruk, keinginan untuk berbagi biaya layanan energi, pencurian, dan penghancuran fasilitas yang telah dibangun adalah beberapa isu yang perlu diatasi dalam pengembangan elektrifikasi pedesaan bersama.

Di sisi lain, partisipasi masyarakat dalam transisi energi adalah pendorong utama untuk mengurangi ketidaksetaraan energi dan mempercepat pengurangan emisi, sebagai bagian penting dari pembangunan berkelanjutan. "Bagi Indonesia, transisi energi berada di inti pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Transisi energi sangat penting dalam memastikan pencapaian tujuan SDGs," kata Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, secara virtual, Senin (15/3) malam di Global Commission on People-Centred Clean Energy Transitions, yang diselenggarakan oleh Badan Energi Internasional (IEA). Pada kesempatan tersebut, Arifin mengatakan bahwa rencana ini penting untuk mempercepat pengurangan emisi dan melibatkan serta memberdayakan masyarakat dalam proses transisi energi.

Untuk memastikan keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat yang adil dan sukarela dalam pengembangan energi bersih, Proyek Accelerating Clean Energy Access to Reduce Inequality (ACCESS), inisiatif pengembangan listrik pedesaan di bawah kemitraan MEMR dan UNDP Indonesia, dengan dukungan dana dari Badan Kerjasama Internasional Korea (KOICA), melakukan proses FPIC.

Free, prior, and informed consent (FPIC) bertujuan untuk membentuk partisipasi dan konsultasi dari bawah ke atas dari penduduk asli sebelum mengembangkan lahan komunitas atau menggunakan sumber daya di wilayah penduduk asli. Dengan proses ini, masyarakat akan diinformasikan secara memadai tentang proyek pengembangan dengan cepat dan memiliki kesempatan untuk menyetujui atau menolak proyek tersebut tanpa tekanan yang tidak pantas.

 

Komunitas Wangkolabu (30/9) di Muna Sulawesi Tenggara mengadakan pertemuan mengenai rencana Proyek ACCESS untuk konsultasi Free, Prior, and Informed Consent.

 

Proyek ACCESS bertemu dan berkonsultasi dengan para pemimpin masyarakat, pejabat pemerintah setempat, dan semua kelompok masyarakat di setiap dari 23 desa untuk memastikan bahwa para pemangku kepentingan lokal di lokasi proyek menerima informasi yang cukup tentang proyek, termasuk proses, manfaat, mekanisme keluhan, serta risiko dan konsekuensinya.

"Dalam desa saya, kami bekerja dengan pemuda gereja setempat untuk menyebarkan informasi dan mendapatkan umpan balik masyarakat," kata Marcel S. Mega, fasilitator desa dari Desa Eka Pata di Nusa Tenggara Timur. Ia juga berkonsultasi dengan kelompok perempuan tentang proyek ini. Di desanya, 2 dari 9 perwakilan desa untuk konsultasi FPIC adalah perempuan. Secara total, 275 perwakilan desa dari 23 desa (201 pria dan 74 perempuan) berpartisipasi dalam konsultasi desa dan memberikan persetujuan resmi untuk Proyek ACCESS di desa masing-masing.

Awalnya, FPIC adalah mekanisme yang dikembangkan dalam hukum internasional. Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat 2007 (UNDRIP) mengakui FPIC sebagai aspek hak-hak masyarakat adat terkait dengan hak properti, hak budaya, dan hak penentuan nasib sendiri. Pengakuan kebutuhan FPIC bagi masyarakat adat muncul dari yurisprudensi Komite Hak Asasi Manusia, Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, dan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Namun sekarang, FPIC muncul lebih luas sebagai prinsip praktik terbaik untuk pembangunan berkelanjutan dan diadopsi oleh berbagai organisasi, termasuk sektor swasta, untuk mengelola risiko sosial dalam proyek pembangunan. "Ketika diimplementasikan dengan efektif, FPIC memiliki dukungan besar untuk keberlanjutan fasilitas yang disediakan," kata Mathilde Sari, Manajer Proyek Nasional Proyek ACCESS. "FPIC merupakan alat penting dalam realisasi penentuan nasib sendiri masyarakat adat, mempromosikan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan mengurangi risiko konflik sosial seputar proyek sumber daya alam."

Peran Proyek dalam Melindungi Hak Lokal

  • Proyek ACCESS dilakukan sesuai dengan Standar Sosial dan Lingkungan UNDP
  • ACCESS menyediakan pelatihan berbasis gender unutk semua fasilitator desa dan menjaga panduan "Pocket Book" untuk inklusi pemangku kepentingan, termasuk mekanisme persetujuan bebas, sebelumnya, dan informasi. Proyek ini juga menyediakan mekanisme keluhan dan sistem pelaporan pelanggaran untuk mengatasi kekhawatiran masyarakat.
  • Melalui sistem pemantauan dan pelaporan, ACCESS meningkatkan kesadaran dan advokasi untuk mencapai kesetaraan gender dan inklusi sosial yang efektif.

Penulis: Salman Nursiwan, Monitoring and Outreach ACCESS Project

© 2021 - ACCESS
Close menu